Kamis, 31 Maret 2016

KEUNTUNGAN dan KERUGIAN INDONESIA MENGENAI UU NOMOR 12 TAHUN 2002 SECARA EKONOMI

Oleh : H SISWADI
NIM : 15-00-1975/P
Fakultas Hukum, Universitas Bondowoso.

KEUNTUNGAN dan KERUGIAN INDONESIA  MENGENAI  UU NOMOR 12 TAHUN 2002  SECARA EKONOMI


A. Latar Belakang

Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya digunakan untuk melindungi dan mempertahankan kekayaan intelektual tersebut. Pada akhirnya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan intelektual, termasuk pengakuan hak atas karya tersebut. Sesuai dengan hakikatnya pula, HaKI dikelompokkan sebagai hak milik perorangan yang bersifat intangible (tidak berwujud). Jika dilihat dari latar belakang sejarah mengenai HaKI terlihat bahwa di Negara-negara barat penghargaan atas hasil pikiran individu sudah sangat lama diterapkan dalam budaya mereka yang kemudian diterjemahkan kedalam undang-undang. HaKI di Negara-negara barat bukan hanya sekedar perangkat hukum yang digunakan untuk perlindungan terhadap hasil karya intelektual seseorang, akan tetapi juga dipakai sebagai alat strategi usaha dimana suatu penemuan dapat dikomersialkan sebagai kekayaan intelektual, ini memungkinkan pencipta tersebut dapat mengeksploitasi ciptaannya secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan tersebut dapat menyebabkan pencipta karya intelektual itu untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi yang lainnya. Sehingga akan timbul keinginan pihak lain untuk dapat berkarya dengan lebih baik sehingga timbul kompetisi di dalamnya.
Di Indonesia penerapan HaKI baru dapat dilakukan akhir-akhir ini, ini dikarenakan sudah mulai banyaknya kasus-kasus yang melibatkan kekayaan intelektual didalamnya, oleh karena itu maka pada tahun 2002 disahkanlah undang-undang tentang HaKI, yang mengatur tata cara, pelaksanaan, dan penerapan HaKI di Indonesia. Dengan adanya UU HaKI, diharapkan dapat
lebih mengatur tentang hak-hak seseorang terhadap karyanya, dan juga dapat menjerat pelaku kejahatan HaKI.
B. Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian Hak Kekayaan Intelektual ?
2.    Apa pengertian Keuntungan dan Kerugian UU Hak Cipta Sesuai Pasal 12 tahun 2002 Secara Ekonomi ?
C. Tujuan
1.    Memberikan penjelasan secara sederhana tentang apa yang dimaksud dengan Hak Cipta Sesuai UU No 12 Tahun 2002 Serta Keuntungan dan Kerugian Secara Ekonomi ;
2.    Sebagai salah satu tugas mata kuliah Hak Kekayaan Intelektual.
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hak Kekayaan Intelektual
Kekayaan Intelektuan atau Hak Kekayaan Intelektuan ( HaKI ) atau Hak Milik Intelektuan adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intelectuan Property Rights ( IPR ) atau Geistiges Eigentum, dalam bahasa Jermannya. Istilah atau terminology Hak Kekayaan Intelektual ( HKI ) digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya. Istilah HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli maupun dijual.
Adapun Kekayaan Intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti tehnologi, pengetahuan,seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur dan lain-lain yang berguna untuk manusia. Obyek yang diatur dalam HaKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan Intelektual manusia. System HaaKI merupakan hak privat ( private rights ). Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak Eklusif yang diberikan Negara kepada Individu pelaku HKI ( investor, pencipta, pendesain dan sebagainya ) tiada lain dimaksudkan sebagai pernghargaan atas hasil karya ( kreativitas )nya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga dengan system HaKI terebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mikanisme pasar.  Disamping itu system HaKI menunjang diadakannya system dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya tehnologi atau karya lainnya yang sama dapat dihindari atau dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.                                                                   Teori Hak Kekayaan Intelektuan ( HKI ) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang Hak Milik. Dalam bukunya, John Locke mengatakan bahwa hak milik dari seseorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia lahir. Benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari Intelektualitas Manusia.
Menurut Letezia Tobing, S.H., M.Kn telah menyampaikan bahwa pada dasarnya Undang-Undang Hak Cipta ( UHC ) yang telah diatur oleh UU nomor : 12 tahun 2002 tentang Hak Cipta
Baru ( “UU nomor 12/ 2002 ) sebagai pengganti UU nomor : 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Melalui Pasal 1 UU Hak Cipta, dapat kita lihat bahwa UU Hak Cipta baru memberikan definisi yang sedikit berbeda untuk beberapa hal. Selain itu dalam bagian definisi dalam UU Hak Cipta Baru juga diatur lebih banyak, seperti adanya definisi atas “fiksasi”, “fonogram”, “penggandaan”, “royalti”, “Lembaga Manajemen Kolektif”, “pembajakan”, “penggunaan secara komersial”, “ganti rugi”, dan sebagainya. Dalam UU Hak Cipta Baru juga diatur lebih detail mengenai apa itu hak cipta. Hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Masih banyak hal lain yang berbeda antara UU 19/2002 dengan UU Hak Cipta Baru ( UU Nomor : 12 tahun 2002 ). Berikut akan  dijelaskan beberapa hal yang berbeda, yaitu :
Mengenai perbedaan antara UU 19/2002 dengan UU Hak Cipta Baru ( UU Nomor : 12 tahun 2002 ), dapat dilihat dalam Penjelasan Umum UU Hak Cipta Baru yang mengatakan bahwa secara garis besar, UU Hak Cipta Baru ( UU Nomor : 12 tahun 2002 ) mengatur tentang :
1.    Perlindungan hak cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang ;
2.    Perlindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para pencipta dan/atau pemilik hak terkait, termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat) ;
3.    Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase, atau pengadilan, serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana ;
4.    Pengelola tempat perdagangan bertanggung jawab atas tempat penjualan dan / atau pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di pusat tempat perbelanjaan yang dikelolanya;
5.    Hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan objek jaminan fidusia ;
6.    Menteri diberi kewenangan untuk menghapus ciptaan yang sudah dicatatkan, apabila ciptaan tersebut melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, serta ketentuan peraturan perundang-undangan ;
7.    Pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan atau royalty ;
8.    Pencipta dan/atau pemilik hak terkait mendapat imbalan royalti untuk ciptaan atau produk hak terkait yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan secara komersial ;
9.    Lembaga Manajemen Kolektif yang berfungsi menghimpun dan mengelola hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait wajib mengajukan permohonan izin operasional kepada Menteri ;
10.    Penggunaan hak cipta dan hak terkait dalam sarana multimedia untuk merespon perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Sebagai benda bergerak, baik dalam UU 19/2002 dan UU Hak Cipta Baru ( UU Nomor : 12 tahun 2002 )  diatur mengenai cara mengalihkan hak cipta. Akan tetapi dalam Pasal 16 ayat (1) UU Hak Cipta Baru ( UU Nomor : 12 tahun 2002 )  ditambahkan bahwa hak cipta dapat dialihkan dengan wakaf.
Masih terkait dengan hak cipta sebagai benda bergerak, dalam UU 19/2002 tidak diatur mengenai hak cipta sebagai jaminan. Akan tetapi, dalam Pasal 16 ayat (3) UU Hak Cipta Baru ( UU Nomor : 12 tahun 2002 )   dikatakan bahwa hak cipta adalah benda bergerak tidak berwujud yang dapat dijaminkan dengan JAMINAN FIDUSIA ( jaminan kebendaan atas benda bergerak
baik yang berwujud maupun tidak berwujud sehubungan dengan hutang-piutang antara debitur dan kreditur ).
Mengenai jangka waktu perlindungan hak cipta yang lebih panjang, dalam Pasal 29 ayat (1) UU 19/2002 disebutkan bahwa jangka waktu perlindungan hak cipta adalah selama hidup pencipta dan berlangsung hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, sedangkan dalam UU Hak Cipta Baru ( UU Nomor : 12 tahun 2002 ), masa berlaku hak cipta dibagi menjadi 2 (dua) yaitu masa berlaku hak moral dan hak ekonomi.
Hak moral pencipta untuk dapatnya memperhatikan mengenai : 
1.    Tetap mencantumkan atau tidak mencatumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum ;
2.    Menggunakan nama aliasnya atau samarannya ;
3.    Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya, berlaku tanpa
4.    Batas waktu ( Pasal 57 ayat (1) UU Hak Cipta Baru yaitu UU Nomor : 12 tahun 2002 ).
Sedangkan hak moral untuk (i) mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat ; dan (ii) mengubah judul dan anak judul ciptaan, berlaku selama berlangsungnya jangka waktu hak cipta atas ciptaan yang bersangkutan (Pasal 57 ayat (2) UU Hak Cipta Baru).
Kemudian untuk hak ekonomi atas ciptaan, perlindungan hak cipta berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya (Pasal 58 ayat (1) UU Hak Cipta Baru yaitu UU Nomor
: 12 tahun 2002 ). Sedangkan jika hak cipta tersebut dimiliki oleh badan hukum, maka berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman.
Perlindungan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 tersebut hanya berlaku bagi ciptaan berupa :
a.    buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya ;
b.    ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain ;
c.    alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan ;
d.    lagu atau musik dengan atau tanpa teks ;
e.    drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime ;
f.    karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase ;
g.     karya arsitektur ;
h.    peta; dan
i.     karya seni batik atau seni motif lain.

Akan tetapi, bagi ciptaan berupa :
a.    karya fotografi ;
b.    potret ;
c.    karya sinematografi ;
d.    permainan video ;
e.    program computer ;
f.    perwajahan karya tulis ;
g.    terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi, dan karya lain dari hasil transformasi ;
h.    terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi atau modifikasi ekspresi budaya tradisional
i.    kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer atau media lainnya ;
j.    kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. (Pasal 59 ayat (1) UU Hak Cipta Baru).
Kemudian untuk ciptaan berupa karya seni terapan, perlindungan hak cipta berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman (Pasal 59 ayat (2) UU Hak Cipta Baru). UU Hak Cipta Baru ini juga melindungi pencipta dalam hal terjadi jual putus (sold flat). Ciptaan buku, dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak ciptanya beralih kembali kepada pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 tahun (Pasal 18 UU Hak Cipta Baru). Hal tersebut juga berlaku bagi karya pelaku pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, hak ekonomi tersebut beralih kembali kepada pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 tahun ( Pasal 30 UU Hak Cipta Baru).
Hal lain yang menarik dari UU Hak Cipta Baru ini adalah adanya larangan bagi pengelola tempat perdagangan untuk membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya (Pasal 10 UU Hak Cipta Baru). Dalam Pasal 114 UU Hak Cipta Baru diatur mengenai pidana bagi tempat perbelanjaan yang melanggar ketentuan tersebut, yaitu pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 ( seratus juta rupiah ). Selain itu, dalam UU Hak Cipta Baru juga ada yang namanya Lembaga Manajemen Kolektif. Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum niralaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti (Pasal 1 angka 22 UU Hak Cipta Baru).
B.    K euntungan Bagi Indonesia Secara Ekonomi
1.    Memperoleh hasil penarikan pajak sesuai PPH 21 ;
2.    Sebagai bukti hak cipta yang sah secara hukum atas suatu ciptaan ;
3.    Pemegang hak cipta berhak membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut ;
4.    Pemegang hak cipta berhak mengimpor dan mengekspor ciptaan ;
5.    Pemegang hak cipta berhak menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan) ;
6.    Pemegang hak cipta berhak menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum ;
7.    Pemegang hak cipta berhak menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain ;
8.    Selama 25 tahun NKRI hanya memperoleh hasil penarikan pajak sesuai PPH21 ( pajak penghasilan ) karena untuk ciptaan berupa karya seni terapan, perlindungan hak cipta berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman  sesuai dengan Pasal 59 ayat (2) UU Hak Cipta Baru ( UU nomor 12 tahun 2002 ) tersebut ;
9.    Untuk jangka panjangnya setelah 75 tahun hak cipta dimaksud akan menjadi kekayaan Negara ;
10.    Dengan UU nomor 12 tahun 2002 tersebut, maka figur NKRI dimata dunia akan semakin jelas dan nampak bahwa NKRI adalah sebagai Negara kesatuan yang semakin berkembang dan maju terus di masa yang akan datang ;
11.    Setiap produk yang masuk ke NKRI dimana Hak Ciptanya adalah Negara lain secara otomatis NKRI ( Indonesia ) akan memperoleh hasil pula baik dari pajak masuk dan dari hasil penjualan produk-produk tersebut di NKRI ;
12.    Dengan UU nomor 12 tahun 2002 tersebut NKRI dapat mengatur, mengarahkan dan menyetting para pemilik Hak Cipta baik dari dalam NKRI sendiri maupun dari Luar
NKRI berdasarkan UU nomor 12 tahun 2002 tersebut, sehingga NKRI tidak perlu menciptakan sendiri untuk memperoleh keuntungan dari Hak Cipta itu sendiri ;
 
       C. Kerugian Bagi Indonesia Secara Ekonomi
1.    Orang lain harus meminta izin kepada pemegang hak cipta jika ingin menggunakannya ;
2.    Orang lain tidak berhak membuat salinan atau mereproduksi ciptaan tanpa seizin pencipta ;
3.    Orang lain tidak berhak menciptakan karya turunan atas ciptaan orang lain tanpa seizin pencipta ;
4.    Orang lain tidak bisa sembarangan memamerkan ciptaan orang lain tanpa seizin pencipta ;
5.    Demikian juga halnya dengan hak ekonomi atas ciptaan, yaitu perlindungan hak cipta berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya sesuai Pasal 58 ayat (1) UU Hak Cipta Baru yaitu UU Nomor : 12 tahun 2002. Dalam hal ini NKRI memberikan jangka waktu selama 70 tahun setelah penciptanya meninggal dunia adalah terlalu lama, mestinya cukup dengan 25 tahun saja setelah penciptanya meninggal dunia dengan dasar untuk membiayai keturunannya yang ditinggal masih kecil ( contoh usia 1 tahun ) maka dengan usia 26 tahun kedepan anak yang ditinggal oleh orng tuanya atau penciptanya sudah cukup umur dan berakahir tentang Hak Cipta orang tuanya/kelompok/komonitasnya, sehingga pada tahun ke 26 Hak Cipta tersebut sudah menjadi hak NKRI tidak perlu menunggu 46 tahun lagi ; 
D.    Kesimpulan
-    Kekayaan intelektual adalah kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia yang dapat berupa karya di bidang teknologi,ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Kata“intelektual” tecermin bahwa obyek kekayaan intelektual tesebut adalah kecerdasan daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the creations of the human mind) (WIPO,1983:3). Secara substantive pengertian Haki dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.Tumbuhnya konsepsi kekeyaan atau karya-karya intelektual pada akhirnya juga digunakan untuk melindungi atau mempertahankan kekeyaan intelektual.Haki dikelompokkan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak terwujud.
-    Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak cipta merupakan hak ekslusif yang memberi arti bahwa selain pencipta maka orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas izin penciptanya ;

-    Pengaturan mengenai hak cipta dimuat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 dan telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002 yang bertujuan untuk merealisasi Amanah Garis Besar Haluan Negara ( GBHN ) dalam rangka pembangunan di bidang Hukum, dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi pencipta dan hasil karya ciptaannya ; 

-    Berbicara mengenai hak cipta, tentunya tidak terlepas mengenai pelanggaran hak cipta. Suatu pelanggaran terhadap sebuah karya ciptaan terjadi apabila :
a.    Terjadi pengeksploitasian ( pengumunan, penggandaan dan pengedaran ) untuk kepentingan komersial sebuah karya cipta tanpa terlebih dahulu meminta izi atau mendapatkan Lisensi dari penciptanya / atau ahli warisnya. Termasuk di dalamnya tindakan penjiplakan ;
b.    Peniadaan pencipta pada ciptaannya ;
c.    Penggantian atau perubahan nama pencipta pada ciptaannya yang dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik hak ciptanya ;
d.    Penggantian atau perubahan judul sebuah ciptaan tanpa persetujuan dari penciptanya atau ahli warisnya.

REFERENSI
1.    Tamotsu Hozumi, 2006, Asian Copyrigh Hanbook ( Buku Panduan Hak Cipta Asia Versi Indonesia ), Jakarta : IKAPI ;
2.    Rachmadi Usman, SH, 2003, Hukum Hak Atas Kekakayaan Intelektual ( Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia ), Bandung : PT Alumni ;
3.    Mulyatno, 2000, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta ;
4.    Agus Candra Suratmaja, 2010. Pustaka Leterasi http:/www.leterasibookstore.blogspot.com ;
5.    Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, halaman 7. Ditejen HKI, 2006 ;
6.    Sutedi, A. Hak Atas Kekayaan Intelektual, halaman 38. Sinar Grafika, 2009 ;
7.    Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, halaman 9-12. Ditjen HKI, 2006 ;
8.    PP No 2 Tahun 2005 Tentang Konsultan Hak Kekayaan Intelektual ;
9.    PP No 2 Tahun 2005 Tentang Kosultan Hak Kekayaan Intelektual ;


Kamis, 17 Maret 2016

TUGAS HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL by Wine Heranika.




Jamie N Commons guitar's.



Ulasan Mengenai Keuntungan dan Kerugian dari Pelaksanaan Undang-undang no. 12 Tahun 2002 tentang Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.
 
Indonesia sebagai Negara yang kaya akan wilayah dan isinya, otomatis memberi khasanah perbendaharaan berbagai jenis warisan kekayan seni dan budaya terdahulu dari banyak orang – orang yang bertalenta, sehingga tidak terlepas dari hak kepemilikan atas karya – karya yang telah lahir tersebut, dimana hak tersebut secara moral melekat pada hasil ciptaannya.

   Separuh dari institusi hukum yang ada di Indonesia yang berkaitan tentang  hak cipta (copy right) bertujuan melindungi hasil karya yang telah diciptakan oleh seseorang. Pada umumnya, suatu ciptaan haruslah memenuhi standar minimum agar berhak mendapatkan hak cipta, dan hak cipta biasanya tidak berlaku lagi setelah periode waktu tertentu (masa berlaku ini dimungkinkan untuk diperpanjang pada yurisdiksi tertentu).
Semisal hasil dari karya berupa seni yang diciptakan oleh para musisi atau seniman. Bentuk-bentuk karya seni tersebut meliputi; ciptaan lagu dan musik dengan atau tanpa teks, termasuk karawitan dan rekaman suara; drama, tari termasuk karawitan dan rekaman suara, drama, tari (koreografi), pewayangan, pantomim, karya-karya yang tidak diketahui penciptanya hak ciptanya berada di tangan negara.
 Dalam ranah hukum, karya seni merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan HAKI pun merupakan suatu hak yang timbul akibat adanya tindakan kreatif manusia yang menghasilkan karya-karya inovatif yang dapat diterapkan secara luas dalam mempermudah segala aspek kehidupan manusia.
Hukum memberikan perlindungan terhadap seniman / musisi dan karya yang lahir dari sebuah proses penciptaan; daya intelektual, karsa, dan rasa sang seniman. Di Indonesia pengaturan perlindungan tersebut di dituangkan dalam Undang-Undang No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang baru diberlakukan tanggal 29 Juli 2003 yang lalu atas perintah Pasal 78 undang-undang tersebut. Pasal 2 undang-undang tersebut mengatakan bahwa hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta dan pemegang hak cipta.
Artinya, bahwa yang hak tersebut semata-mata diperuntukan bagi orang yang memiliki / pemegangnya sehingga tidak ada pihak-pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.
Jadi, sebagai suatu hak eksklusif, HAKI tidak dapat diganggu gugat. Hal ini sejalan dengan prinsip droit inviolable et sacre salah satu prinsip  hukum dimana hak yang tidak dapat diganggu gugat)dari hak milik itu sendiri. Hak eksklusif itu sendiri tidak saja tertuju pada masyarakat. Oleh karena itu, tujuan hukum HAKI adalah menyalurkan kreativitas individu untuk kemanfaatan manusia secara luas.
Namun, kenyataannya di Indonesia kreasi para seniman secara hukum belum dihargai sebagaimana mestinya oleh masyarakat maupun kalangan seniman itu sendiri. Hal tesebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain HAKI sebagai sebuah institusi hukum dirasakan belum mampu melindungi kepentingan hukum para seniman. Atau boleh jadi seniman itu sendiri merasa tidak "membutuhkan" perlindungan HAKI, atau instrument berupa regulasii yang telah dikeluarkan Pemerintah belum mampu memmberi proteksi penuh bagi para musisi/seniman dengan  hasil karyanya.
Dalam hal ini tampaknya sang seniman lebih memandang keberadaan HAKI hanya dari aspek kepentingan moralitas dirinya ketimbang keuntungan ekonomis. Meskipun Undang-Undang No.19/2002 melindungi kedua kepentingan tersebut sebagaimana tertera dalam bagian ketujuh mengenai hak moral pencipta. Pasal 24 ayat 2 menyatakan bahwa suatu hak cipta tidak boleh diubah walaupun hak ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal pencipta telah meninggal dunia. Pasal ini dengan jelas memperlihatkan bahwa aspek ekonomi dan aspek moral dari hak cipta dilindungi oleh hukum. Contohnya sebuah lirik lagu yang telah dijual ke perusahaan rekaman oleh penciptanya, tidak boleh nama pencipta lirik lagu tersebut dihapuskan begitu saja meskipun ketika karya tersebut dipublikasikan. Hal ini merupakan kemajuan yang berarti dalam undang-undang hak cipta kita saat ini. Karena undang-undang tersebut mengakui dimensi moral dari karya itu lahir bukan hanya atas dasar kepentingan ekonomi tetapi merupakan ekspresi dari eksistensi sang seniman sebagai manusia yang dilindungi hak asasi manusianya (HAM) secara universal sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Pelanggaran terhadap hak moral sang seniman berarti pelanggaran terhadap HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Penyebab lain walaupun seorang seniman mengetahui karyanya "digagahi" orang lain namun ia tidak berdaya untuk mempertahankan haknya karena minimnya pengetahuan para seniman tentang hukum khususnya mengenai hak cipta. Di sisi lain harus diakui bahwa penegakan hukum (law enforcement) HAKI pun masih jauh dari yang diharapkan, terutama dari segi kemampuan dan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) para penegak/aparat hukumnya.
Ditilik sekilas dari sisi sosiologi hukum khususnya dalam ranah HAKI kesenian sebagai unsur dari masyarakat pengguna HAKI terdapat tiga komponen dasar berbentuk segitiga yang berarti saling berhubungan/tidak dapat dipisahkan, yakni komponen dasar tersebut satu sama lain saling memengaruhi. Ketiga komponen itu adalah, peraturan-peraturan perundang-undangan (regulasi) termasuk di dalamnya sistem penegakan hukum (law enforcement) yang disiapkan untuk mengemban kebutuhan HAKI. Kedua, komponen seniman yang merupakan subjek hukum penyandang hak dan kewajiban atas HAKI. Sementara itu, yang ketiga, adalah komponen masyarakat penikmat/pengguna (user) karya para seniman.
Sebagai produk kebudayaan HAKI kesenian tidak terlepas dari keberadaan budaya hukum suatu bangsa. Oleh sebab itu, bila kita membahas HAKI kesenian sebenarnya tidaklah terlepas dari keberadaan HAKI sebagai sistem hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam mencermati permasalahan HAKI kesenian di Indonesia ketiga komponen tersebut mengandung berbagai permasalahan dan kendala yang perlu segera dicarikan solusinya.
Masalah mendasar dari komponen regulasi dan menegakkan hukum (law enforcement) HAKI bidang kesenian yang bertumpu pada UU Hak Cipta No. 19 tahun 2002, adalah bagaimana mensosialisasikan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun secara fiksi hukum masyarakat dianggap mengetahui isi undang-undang HAKI, dalam kenyataannya pengaturan tentang HAKI masih belum memasyarakat. Khususnya di kalangan seniman banyak di antara mereka yang belum memahami hak dan kewajiban yang berkaitan dengan HAKI. Mereka tidak paham prosedur pendaftaran hak cipta sebagaimana diatur dalam BAB IV Pasal 35 tentang tata cara pendaftaran ciptaan sebagaimana diatur dakam undang tersebut di atas. Meskipun sesungguhnya hak cipta sang seniman yang sifat eksklusif itu melekat pada karya sang seniman diumumkan maupun tidak diumumkan pada publik, dianjurkan untuk didaftarkan agar jika karya itu dibajak atau terjadi sengketa surat pendaftaran ciptaan tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan. Hal ini amat membantu sang seniman yang umumnya tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana caranya mendapatkan perlindungan hukum. Di samping itu, kebanyakan seniman tidak tahu bagaimana seharusnya mendapatkan hak royalti dari karyanya.
Pendek kata seorang seniman sering kali terkucilkan dari hak-hak atas karyanya karena ketidaktahuan. Itulah sebabnya masih perlu secara berkesinambungan disosialisasikan berbagai aturan mengenai HAKI kesenian dalam berbagai perwujudannya. Kesadaran hukum para seniman masih perlu ditingkatkan, hal ini merupakan tugas pemerintah, organisasi profesi seniman, maupun Lembaga Sosial Masyarakat/ LSM yang peduli HAKI untuk melakukan penyuluhan hukum pada masyarakat maupun pada para seniman. Masalah yang menyangkut komponen seniman yaitu kendala budaya. Seniman di Indonesia pada umumnya bersikap religius dan tradisional. Mereka menganggap kemampuan kesenian yang dimilikinya merupakan pemberian Tuhan dan merupakan heriditas tradisi yang diturunkan oleh lingkungan budaya kolektivisme. Sementara itu, konsep HAKI datang dari budaya Barat yang bertitik tolak dari pengakuan kepada hak-hak individu dalam tradisi falsafah kapitalisme, dimana para seniman menganggap ini bukanlah ajaran yang telah dimiliki/ bertentangan dengan keyakinan yang ada.
Di samping itu tentu saja pengetahuan seniman tentang hukum khususnya hukum yang menyangkut hak cipta sangatlah minim, terutama para seniman tradisional, mereka hampir dapat dikatakan "buta hukum". Oleh sebab itu, sosialisasi HAKI di kalangan seniman menjadi amat penting artinya dan membutuhkan kita tersendiri mengingat seniman merupakan "masyarakat" yang meamiliki ciri-ciri kepribadian yang unik.
Yang terakhir adalah kendala dari komponen masyarakat. Atas nama fiksi hukum dalam konteks hukum positif di Indonesia, masyarakat dianggap tahu tentang adanya Undang-Undang Hak Cipta. Jika seorang warga melakukan pelanggaran terhadap UU Hak Cipta, mereka akan kena sanksi hukum meskipun menyatakan bahwa tidak tahu perbuatannya dilarang oleh UU Hak Cipta. Masalahnya banyak seniman tidak peduli apakah karyanya diberi royalti atau tidak, dicuri atau dibajak sekalipun. Apalagi, saat ini fakta di lapangan para penegak hukum belum melakukan penegakan hukum secara tegas bagi pelaku pelanggaran HAKI. Oleh karena itu, yang terjadi adalah orang-orang yang menguasai dunia industri kesenian (misalnya, industri rekaman dalam arti luas) di Indonesia mendapat kesempatan empuk untuk mengeruk keuntungan dari ketidakpedulian seniman dan ketidaktahuan masyarakat serta kelemahan penegakan hukum.
Yang layak dikemukakan bahwa  mengenai Hak Cipta yang sedang banyak dibicarakan sebenarnya memiliki kesempatan untuk disosialisasikan oleh pemerintah pada masyarakat. Ini berarti pemerintah memiliki waktu untuk menyebarluaskan Undang-Undang Hak Cipta itu pada masyarakat Indonesia. Dalam pengamatan selintas upaya sosialiasi tersebut tampaknya belum maksimal dalam masyarakat karena di lapangan banyak kalangan masyarakat yang tampaknya kurang siap untuk melaksanakan amanat undang-undang ini. Meskipun "fiksi hukum" berlaku terhadap semua produk perundang-undangan sebagai perwujudan dari hukum positif kita, seperti apa yang penulis ungkapkan di atas. Bahkan, khusus bagi Undang-Undang Hak Cipta yang amat penting keberadaannya bagi masyarakat karena mencakup begitu banyak kepentingan, selayaknya upaya sosialisasinya dilakukan lebih serius sehingga dalam penerapannya menjadi efektif. Kekurangmatangannya proses sosialisasi undang-undang ini terbukti dari kenyataan begitu banyaknya pelanggaran yang masih berlangsung dalam masyarakat menjelang maupun sesudah undang-undang ini diberlakukan.
Upaya penegakan hukum gencar melakukan sweeping / razia dengan armada Satuan Polisi Pamong Praja saat undang-undang ini mulai diberlakukan bakal "anget anget tahi ayam" saja karena tekanan perusahan multiinternasional yang merasa sangat dirugikan oleh masyarakat Indonesia yang selama ini membajak produk mereka.
 Seharusnya selama masa sosialisasi sweeping pun harus dilakukan ke berbagai lingkungan masyarakat bukan hanya ke toko-toko VCD tetapi juga ke produser, instansi pemerintah, serta para penegak hukum itu sendiri. Hendaknya sweeping dilakukan seiring dengan penyuluhan isi Undang-Undang Hak Cipta tersebut sebagai bagian dari proses penegakan hukum sehingga masyarakat tidak hanya takut pada hukum tetapi sadar dan patuh pada hukum. Kita berharap saja Undang-Undang Hak Cipta ini dapat memberikan perlindungan hukum pada masyarakat kreator khususnya masyarakat seniman meskipun tidak sepenuhnya, tetapi cukuplah guna membantu keberadaan seniman dan musisi yang bertalenta. Ada sinisme dalam kalangan masyarakat tertentu bahwa sebuah undang-undang lahir untuk dilanggar bukan untuk dipatuhi terkadang membuat kita pun miris.

Saran saya;
·                Jika tidak ingin disebut pelaku plagiat tulen / penjahat terselubung yang merompak hasil kreatifitas orang lain, maka cukup jadilah seperti Negara Cina, artinya ; apabila belum menemukan “brillian ideas” / “original inventions” , maka cukup amati, tiru, dan modifikasi dulu dari apa yang sudah di invensi, sehingga muncul valuenya.
·                   Pemerintah disini diharapkan senantiasa full supports pada hasil invensi anak negeri dengan memberikan jaminan, pengakuan, kemudahan/fasilitas penunjang bukan malah apatis, under estimate, tidak berpihak pada invensi yang telah dihasilkan, semisal pada invensi televisi baru-baru ini. Sedangkan apabila inventor itu ujung-ujungnya di rebut / menjual hasil ide kreatifitasnya pada Negara lain , Indonesia biasanya akan buru-buru kebakaran jenggot, (sakit hatilah). Padahal memang salah sendiri akibat kurang perduli akan temuan tersebut.
·                 Pemerintah senantiasa mentrigger iklim kompetisi dalam hal invensi anak bangsa, sehingga bisa lebih maju kedepannya, dan memudahkan inventor muda mendapatkan sumber – sumber yang telah Indonesia punya untuk dijadikan sesuatu yang fresh, untuk menemukan jati dirinya kembali. Semisal ; tidak jarang anak-anak hari ini harus ke pasar loak untuk mendukung komponen dari hasil invensinya, dimana fasilitas dan sumber data yang ada misal di perpustakaan dari Negara masih dirasa kurang, sehingga mengembalikan cinta akan Indonesia,
·                Diharapkan hasil invensi yang dihasilkan memiliki benefit yang berprogress jadi tidak mudah tergerus perubahan, maka dibutuhkan keotentikan dan karya yang long lasting sifatnya.
·                Para inventor harus lebih “melek/peka” dalam memproteksi ciptaannya, dan jika telah mendapat hasil yang memuaskan inventor harus bisa memantainance klien, customernya / fan base jika pada musisi dengan hubungan yang baik. Semisal ; musisi lokal kadang kurang hangat di sosial media dalam menanggapi fansnya, itu terjadi pada saya sendiri. Musisi luar sangat peka dan gencar dalam promosi merebut hati fans, ini kurang ada di kita.
·              Akhir kata, “man jadda wa jadda”, ‘kurang lebihnya sebagai manusia haruslah kita bersungguh-sungguh maka kita akan berhasil, meskipun terlambat, asal mau belajar dan melakukan yang terbaik, who knows Indonesia kelak bisa memiliki banyak inventor. Sepanjang itu ide kreatif dan kita tidak menipu konsumen, atau cuma style kebarat-baratan / tuntutan kekini-kinian yang berkembang liar saat ini, menurut Kamus Besar Hari Gini (KBHG) “ itu mah ga papa keles..” dibanding dengan mengikuti budaya korupsi, narkoba, aliran sesat, atau bahkan fenomena poligami dan LGBT.. Jadi memang diri kita sendiri harus bermilitan kalau ingin tetap loyal sebagai orang Indonesia, realnya cinta Bondowoso dulu lah sebagai langkah nyata, membiasakan diri lebih memilih barang lokal yang berkualitas, daripada yang tiruan ber KWJUST Decide, Commit, Succeed. May Allah Blessed Us.
Wine Heranika 13 00 1891
Sumber : Pikiran Rakyat (21 Agustus 2003)
fisik@net - http://www.sains.org/haki/