Review Pribadi
Dari Buku “ HAK CIPTA, KEDUDUKAN DAN PERANNYA DALAM PEMBANGUNAN”
By. Sophar Maru, SH MH
Sinar Grafika
Basiccally..
Hak Kekayaan
Intelektual dikenal sebagai Intellectuall Property Rights ( Law Term in English ), Intellectuele
Eigendom ( Belanda ). Intellectuall
Property Rights sebenarnya mengacu pada jenis hak milik perorangan yang
bersifat tidak berwujud ( Intangible ).
Lingkup jangkauannya :
·
Coppyright
( hak cipta).
·
Indutrial
Property Right.
Hak cipta
berdasarkan kemampuan pikiran, akal sehat, imajinasi,, kecekatan ,
keterampilan, keahlian ( intellectuall ), yang dituangkan “ secara
khas “ dan bersifat pribadi di dalam suatu karya seni, budaya, sastra dan ilmu
pengetahuan.
Bila diperhatikan
tentu berbeda dengan “ Hak atas kekayaan perindustrian “ tentang paten, merk
dagang, nama perusahaan, dimana lebih ditekankan pada “ isu ekonomis “ karena
menyangkut masalah industry dan teknologi.
Hukum Kekayaan Inteletual dalam arti sempit :
* seni dan budaya.
* sastra.
* ilmu pengetahuan.
* desain.
Hukum Kekayaan Inteletual dalam konteks perindustrian :
·
Paten / oktroi.
·
Utility models.
·
Merk dagang.
·
Nama niaga/dagang.
Hak cipta sejak
terciptanya dalam bentuk sesuatu karya, misal : dalam bidang seni, ia telah
diakui keberadaannya oleh hukum , artinya : telah adanya perlindungan dan
proteksi hukum secara penuh terhadap hak-hak si pencipta sekalipun ciptaannya
belum didaftarkan secara resmi. Sebaliknya, jika dalam bidang paten, merk
dagang, nama perusahaan, maka harus terlebih dahulu harus mendaftarkannya
karena syarat keabsahan dalam pembuktian dan proses hukumnya.
Sesungguhnya hak
cipta ( auteursrecht ) yang terdapat dalam “
Auteurswet 1912 “ telah berlaku sebelum
Perang Dunia di Indonesia ( Hindia Belanda dulu ). “ Auteurswet “ 1912 ini
adalah suatu undang-undang dari pemerintah Belanda yang diberlakukan di
Indonesia pada tahun 1912 bedasarkan asas " konkordandsi “ ( St. 1912 no.
600 ; uu. 23 Sepetember 1912 ). Sejak Belanda menandatangani naskah konvensi
Bern pada 1 April 1913, sebagai Negara jajahannya Indonesia diikutkan dalam
konvensi tersebut, dan akhirnya memberlakukannya di Indonesia. Ketika konvensi
Bern diperbarui di Brussel tahun 1948, Indonesia sudah tidak menjadi
anggotanya, karena Indonesia pertama kali masuk kedalamnya juga bukan atas kemauan
dan kehendak / inisiatif sendiri. Maka sejak proklamasi kemerdekaan kita, Indonesia resmi keluar dari konvensi
tersebut.
Dalam perjalanannya sejak “ Auteurswet 1912 “ sampai dengan tahun 1982, maka lebih dari 70 tahun Indonesia belum memiliki dan menciptakan undang-undang tentang hak cipta yang bersifat nasional, yaitu ; UU. No. 60 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Sejak undang-undang tersebut disahkan secara resmi, maka otomatis “ Auteurswet 1912 ‘ dicabut, akibat undang-undang peninggalan Belanda tersebut tidak sesuai dengan cita-cita nasional bangsa Indonesia.
Faktor-faktor yang mendorong
dirubahnya uu. No.60 tahun 1982 ;
-
Rendahnya
tingkat pemahaman masyarakat akan arti dan fungsi hak cipta, sikap, dan
keinginan untuk memperoleh keuntungan dagang secara mudah.
-
Belum
cukup terbinanya kesamaan pengertian, sikap, dan tindakan para aparat penegak
hukum dalam menghadapi pelanggaran hak cipta.
Hak
cipta sebagai bagian dari Hak Milik Intelektual sekarang disebut dengan Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Dalam
arti luas termasuk ; Hak Milik Industri ( Hak Atas Kekayaan Perindustrian ),
sedangkan Hak Cipta mencakup Seni dan Budaya, Sastra dan Ilmu Pengetahuan.
Sementara dalam arti luas mencakup ; Paten, Desain Industri, Merk
Dagang, etc.
Dalam hak cipta terkandung hak moral,
dimana hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta , (konsep hak moral).
Ini berasal dari system continental yaitu; Perancis. Menurut konsep hukum continental,
hak pengarang (droit d’aueteur, author right) terbagi menjadi hak ekonomi untutk mendaptkan
keuntungan yang bersifat ekonomis seperti uang, dan hak moral yang menyangkut
perlindungan atas reputasi si pencipta.
Hak moral dalam hak cipta sangatlah bersifat ‘asasi’ sebagai “natural
right” yang dimiliki oleh seorang manusia. Pengakuan serta perlindungan
terhadap hak moral selanjutnya menumbuhkan rasa aman bagi pencipta, karena ia
tetap merupakan bagian dari hasil karaya ciptaannya. Pada gilirannya dengan
adanya jaminan seperti ini, akan memunculkan karya-karya cipta yang baru .
Pentingnya HAKI
mendapat perlindungan hukum desebabkan :
Pencipta tersebut harus dan wajib diberi penghargaan dan pengakuan
serta perlindungan hukum atas karya yang telah diciptakannya, karena telah
menyumbangkan devisa bagi Negara. Seorang pemilik suatu hak cipta namanya
terdapat dan terdaftar secara resmi pada Departemen Kehakiman dan Ham RI cq.
Dirjen Hak Kekayaan Intelektual.
Dalam perjalananya hak cipta yang mengandung hak ekonomi,
dimana didalamnya si pencipta mendapatkan keuntungan atas ciptaannya. Secara
umum, jenis-jenis hak ekonomi tersebut antara lain :
·
Hak reproduksi
Memperbanyak,
menggandakan ciptaannya, contoh : drama, music, etc.
·
Hak adaptasi
Mengadaptasi dari
menerjemahkan hasil karya tersebut dari buku ke film missalnya.
·
Hak distribusi
Hak pencipta
untuk mendistribusikan/menyalurkan karya tersebut secara luas kepada publik agar
lebih dikenal melalui strategi penjualan yang menarik.
·
Hak penyiaran
Hak pencipta utuk
menyiarkan/mengabarkannya kepada publik.
Pada “ Paten “ ( bersifat terbuka ),
artinya ; penemu harus menguraikan dan menjabarkan hasil temuannya dengan jelas
dan rinci karena merupakan syarat permohonan pendaftar paten. Undang – undang akan
memperhatikan dan memberikan hak secara eksklusif untuk hal tersebut dalam
jangka waktu tertentu, sehingga jika ada yang mengeksploitasinya akan dituntut
secara perdata ataupun pidana.
Jika ada temuan yang belum bisa
dipatenkan ( dalam proses memperoleh hak paten di Dirjen Hukum dan Ham ),
sehingga jika ada yang orang / pihak lain yang dengan diam – diam mengembangkan
temuan tersebut, maka temuan tersbut harus mendapatkan perlindungan hukum, yang
disebut ; “ Rahasia Dagang “.
Regulasi tentang HAKI disini
dimaksudkan agar terbinanya hukum ditengah – tengah masyarakat. Sesuai dengan
perubahan dan perkembangan yang ada, sedikit banyak paham tersebut dapat
dikembalikan kepada ajaran F.C Von
Savigny yang menyatakan “ Das Recht Wird Nicht Gemacht Dher Ist Un Wirel
Mitakna Volke “, yang artinya bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh
bersama-sama dalam masyarakat yang bersangkutan.
Hak cipta menurut
UU. No. 19 tahun 2002 pasal 3, menyatakan HAk Cipta dapat beralih/dialihkan
baik seluruhnya / sebagian karena :
·
Pewarisan
·
Hibah
·
Wasiat
·
Perjanjian tertulis
·
Sebab-sebab lain
yang dibenarkan oleh PERPU
Suatu Hak Cipta dapat diserahkan /
dipindahkan kepada orang lain/badan lain dengan ketentuan :
·
Suatu Hak Cipta
dapat disserahkan untuk sebagian, bagian yang diserahkan itu tidak ada hak lagi
dengan pencipta sedangkan pihak yang diserahi tetap mempunyai hak penuh.
·
Suatu hak cipta
dapat diserahkan sepenuhnya, jika ada tuntutan hukum akan mendapat ganti
kerugian dari orang yang melanggar Hak
Cipta itu.
Contoh :
·
Memperbanyak hasil
ciptaan.
·
Mengumumkan hasil
ciptaan.
·
Menerjemahkan hasil
ciptaan.
·
Menyandiwarakan,
baik pada radio, televise, etc.
Hak yang bisa
dialihkan dikenal pula dengan “
transferable“ dan “nontransferable rights” sekarang disebut “ moral rights”. Sementara
itu, ‘Hak” yang tidak dapat diserahkan, yang tetap dan melekat pada pencipta :
·
Menuntut pelanggaran
hasil ciptaan
·
Izin mengadakan
hasil perubahan, etc.
Hak Cipta hanya
berlaku selama hidup si pencipta dan 50 tahun sesudah ia meninggal (pasal 29).
Di dalam Hak Cipta terkandung konten Hak Milik, dimana si pencipta dapat
mempertahankannya terhadap siapapun yang berusaha mengusik keberadaannya.
Red Notice ..
Self Reminder :
Di dalam
ketentuan pasal 14 UU. No. 6 tahun 1982 (yang masih di pakai sampai saat ini),
Maka dikatakan bahwa tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila
mengutip hak orang lain sampai sebanyak 10% dari kesatuan yang bulat, dengan
syarat harus menyebutkan sumber-sumber dari kutipan tersebut.
Sedangkan dalam undang-undang yang terbaru ( UU. No. 19 tahun 2002
)masalah persentase pembatasan tersebut tidak lagi diatur. Dalam hal ini,
pelanggaran hak cipta ditentukan menurut ukuran kuantitatif, misalnya :
pengambilan bagian yang paling substansial dan khas yang menjadi ciri dari
ciptaan, meskipun pemakaiannnya kurang dari 10%.
Pemakaian
tersebut secara substantif merupakan pelanggaran hak cipta. Pemakaian ciptaan
tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumber-sumber disebut /
dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang
bersifat non komersial termasuk kegiatan sosial. Misal : dalam lingkup
pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan dengan
ketentuan tidak merugikan pada penciptanya. Untuk karya tulis :
sekurang-kurangnya terdapat nama pencipta, judul, atau nama ciptaan, dan
penerbit jika ada.
Menurut buku ini,
keuntungan dan kerugian apabila tidak mendaftarkan hak cipta adalah “ :tidaklah ada ”, “kecuali” untuk
mempermudah proses pembuktian jika ada sengketa tentang hasil ciptaan atas
karya tersebut yang sebenar-benarnya. Disamping itu adanya proteksi /
perlindungan, missal ;
Seorang penulis
mempunyai suatu karya , akan lebih efisien jika langsung berhubungan dengan
pihak perusahaan yang bersedia menerbitkan/ mempublish dan membutuhkan karya
tersebut ( penerbit, contoh; gramedia,etc. ), daripada harus mendaftar dahulu
ke Dirjen Haki.
Secara otomatis,
hak cipta masuk dalam KUH. Perdata, dimana berkaitan dengan bagian yang
berkaitan dengan orang (dimana disini pencipta/pengarang), sedangkan “ciptaannya”
adalah ; ‘objek’ (harta benda), dimana dapat dialihkan pada pihak lain, dijual,
dihibahkan, maupun dapat diperoleh berdasarkan warisan, sedangkan penggunaan
dan pemanfaatannya oleh orang lain bergantung pad “perjanjian”. Oleh sebab itu,
suatu hak cipta tidak terlepas dari hukum perikatan juga termasuk didalamnya
diatur hak dan kewajiban masing-masing pihak.
ps ; buku diatas saya jumpai di perpustkaan daerah bondowso.. hope it's usefull.. hv a good air.