Jamie N Commons guitar's. |
Ulasan Mengenai Keuntungan dan Kerugian dari Pelaksanaan Undang-undang no. 12 Tahun 2002 tentang Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.
Indonesia sebagai
Negara yang kaya akan wilayah dan isinya, otomatis memberi khasanah
perbendaharaan berbagai jenis warisan kekayan seni dan budaya terdahulu dari
banyak orang – orang yang bertalenta, sehingga tidak terlepas dari hak
kepemilikan atas karya – karya yang telah lahir tersebut, dimana hak tersebut
secara moral melekat pada hasil ciptaannya.
Separuh
dari institusi hukum yang ada di Indonesia yang berkaitan tentang hak cipta (copy right) bertujuan melindungi hasil
karya yang telah diciptakan oleh seseorang. Pada umumnya, suatu ciptaan haruslah
memenuhi standar minimum agar berhak mendapatkan hak cipta, dan hak cipta
biasanya tidak berlaku lagi setelah periode waktu tertentu (masa berlaku ini
dimungkinkan untuk diperpanjang pada yurisdiksi tertentu).
Semisal hasil
dari karya berupa seni yang diciptakan oleh para musisi atau seniman.
Bentuk-bentuk karya seni tersebut meliputi; ciptaan lagu dan musik dengan atau
tanpa teks, termasuk karawitan dan rekaman suara; drama, tari termasuk
karawitan dan rekaman suara, drama, tari (koreografi), pewayangan, pantomim,
karya-karya yang tidak diketahui penciptanya hak ciptanya berada di tangan
negara.
Dalam ranah hukum, karya seni merupakan bagian
dari Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan HAKI pun
merupakan suatu hak yang timbul akibat adanya tindakan kreatif manusia yang
menghasilkan karya-karya inovatif yang dapat diterapkan secara luas dalam mempermudah
segala aspek kehidupan manusia.
Hukum memberikan
perlindungan terhadap seniman / musisi dan karya yang lahir dari sebuah proses
penciptaan; daya intelektual, karsa, dan rasa sang seniman. Di Indonesia
pengaturan perlindungan tersebut di dituangkan dalam Undang-Undang No.19 tahun
2002 tentang Hak Cipta yang baru diberlakukan tanggal 29 Juli 2003 yang lalu
atas perintah Pasal 78 undang-undang tersebut. Pasal 2 undang-undang tersebut mengatakan
bahwa hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta dan pemegang hak cipta.
Artinya, bahwa
yang hak tersebut semata-mata diperuntukan bagi orang yang memiliki / pemegangnya
sehingga tidak ada pihak-pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa
izin pemegangnya.
Jadi, sebagai
suatu hak eksklusif, HAKI tidak dapat diganggu gugat. Hal ini sejalan dengan
prinsip droit inviolable et sacre salah satu
prinsip hukum dimana hak yang tidak
dapat diganggu gugat)dari hak milik itu sendiri. Hak eksklusif itu sendiri
tidak saja tertuju pada masyarakat. Oleh karena itu, tujuan hukum HAKI adalah
menyalurkan kreativitas individu untuk kemanfaatan manusia secara luas.
Namun,
kenyataannya di Indonesia kreasi para seniman secara hukum belum dihargai sebagaimana
mestinya oleh masyarakat maupun kalangan seniman itu sendiri. Hal tesebut dapat
disebabkan oleh berbagai hal, antara lain HAKI sebagai sebuah institusi hukum
dirasakan belum mampu melindungi kepentingan hukum para seniman. Atau boleh
jadi seniman itu sendiri merasa tidak "membutuhkan" perlindungan HAKI,
atau instrument berupa regulasii yang telah dikeluarkan Pemerintah belum mampu
memmberi proteksi penuh bagi para musisi/seniman dengan hasil karyanya.
Dalam hal ini
tampaknya sang seniman lebih memandang keberadaan HAKI hanya dari aspek
kepentingan moralitas dirinya ketimbang keuntungan ekonomis. Meskipun
Undang-Undang No.19/2002 melindungi kedua kepentingan tersebut sebagaimana
tertera dalam bagian ketujuh mengenai hak moral pencipta. Pasal 24 ayat 2
menyatakan bahwa suatu hak cipta tidak boleh diubah walaupun hak ciptanya telah
diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan pencipta atau dengan
persetujuan ahli warisnya dalam hal pencipta telah meninggal dunia. Pasal ini
dengan jelas memperlihatkan bahwa aspek ekonomi dan aspek moral dari hak cipta
dilindungi oleh hukum. Contohnya sebuah lirik lagu yang telah dijual ke
perusahaan rekaman oleh penciptanya, tidak boleh nama pencipta lirik lagu
tersebut dihapuskan begitu saja meskipun ketika karya tersebut dipublikasikan.
Hal ini merupakan kemajuan yang berarti dalam undang-undang hak cipta kita saat
ini. Karena undang-undang tersebut mengakui dimensi moral dari karya itu lahir
bukan hanya atas dasar kepentingan ekonomi tetapi merupakan ekspresi dari
eksistensi sang seniman sebagai manusia yang dilindungi hak asasi manusianya
(HAM) secara universal sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Pelanggaran terhadap hak moral sang
seniman berarti pelanggaran terhadap HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Penyebab lain
walaupun seorang seniman mengetahui karyanya "digagahi" orang lain
namun ia tidak berdaya untuk mempertahankan haknya karena minimnya pengetahuan
para seniman tentang hukum khususnya mengenai hak cipta. Di sisi lain harus
diakui bahwa penegakan hukum (law enforcement) HAKI pun masih jauh dari yang
diharapkan, terutama dari segi kemampuan dan mutu Sumber Daya Manusia (SDM)
para penegak/aparat hukumnya.
Ditilik sekilas
dari sisi sosiologi hukum khususnya dalam ranah HAKI kesenian sebagai unsur
dari masyarakat pengguna HAKI terdapat tiga komponen dasar berbentuk segitiga
yang berarti saling berhubungan/tidak dapat dipisahkan, yakni komponen dasar
tersebut satu sama lain saling memengaruhi. Ketiga komponen itu adalah,
peraturan-peraturan perundang-undangan (regulasi) termasuk di dalamnya sistem
penegakan hukum (law enforcement) yang disiapkan untuk mengemban kebutuhan
HAKI. Kedua, komponen seniman yang merupakan subjek hukum penyandang hak dan
kewajiban atas HAKI. Sementara itu, yang ketiga, adalah komponen masyarakat
penikmat/pengguna (user) karya para seniman.
Sebagai produk
kebudayaan HAKI kesenian tidak terlepas dari keberadaan budaya hukum suatu
bangsa. Oleh sebab itu, bila kita membahas HAKI kesenian sebenarnya tidaklah
terlepas dari keberadaan HAKI sebagai sistem hukum positif yang berlaku di
Indonesia. Dalam mencermati permasalahan HAKI kesenian di Indonesia ketiga
komponen tersebut mengandung berbagai permasalahan dan kendala yang perlu
segera dicarikan solusinya.
Masalah mendasar
dari komponen regulasi dan menegakkan hukum (law enforcement) HAKI bidang
kesenian yang bertumpu pada UU Hak Cipta No. 19 tahun 2002, adalah bagaimana mensosialisasikan
perundang-undangan yang berlaku. Walaupun secara fiksi hukum masyarakat
dianggap mengetahui isi undang-undang HAKI, dalam kenyataannya pengaturan
tentang HAKI masih belum memasyarakat. Khususnya di kalangan seniman banyak di
antara mereka yang belum memahami hak dan kewajiban yang berkaitan dengan HAKI.
Mereka tidak paham prosedur pendaftaran hak cipta sebagaimana diatur dalam BAB
IV Pasal 35 tentang tata cara pendaftaran ciptaan sebagaimana diatur dakam
undang tersebut di atas. Meskipun sesungguhnya hak cipta sang seniman yang
sifat eksklusif itu melekat pada karya sang seniman diumumkan maupun tidak
diumumkan pada publik, dianjurkan untuk didaftarkan agar jika karya itu dibajak
atau terjadi sengketa surat pendaftaran ciptaan tersebut dapat dijadikan
sebagai alat bukti awal di pengadilan. Hal ini amat membantu sang seniman yang
umumnya tidak tahu harus melakukan apa dan bagaimana caranya mendapatkan perlindungan
hukum. Di samping itu, kebanyakan seniman tidak tahu bagaimana seharusnya
mendapatkan hak royalti dari karyanya.
Pendek kata
seorang seniman sering kali terkucilkan dari hak-hak atas karyanya karena
ketidaktahuan. Itulah sebabnya masih perlu secara berkesinambungan disosialisasikan
berbagai aturan mengenai HAKI kesenian dalam berbagai perwujudannya. Kesadaran
hukum para seniman masih perlu ditingkatkan, hal ini merupakan tugas
pemerintah, organisasi profesi seniman, maupun Lembaga Sosial Masyarakat/ LSM
yang peduli HAKI untuk melakukan penyuluhan hukum pada masyarakat maupun pada
para seniman. Masalah yang menyangkut komponen seniman yaitu kendala budaya.
Seniman di Indonesia pada umumnya bersikap religius dan tradisional. Mereka
menganggap kemampuan kesenian yang dimilikinya merupakan pemberian Tuhan dan
merupakan heriditas tradisi yang diturunkan oleh lingkungan budaya
kolektivisme. Sementara itu, konsep HAKI datang dari budaya Barat yang bertitik
tolak dari pengakuan kepada hak-hak individu dalam tradisi falsafah kapitalisme,
dimana para seniman menganggap ini bukanlah ajaran yang telah dimiliki/
bertentangan dengan keyakinan yang ada.
Di samping itu
tentu saja pengetahuan seniman tentang hukum khususnya hukum yang menyangkut
hak cipta sangatlah minim, terutama para seniman tradisional, mereka hampir
dapat dikatakan "buta hukum". Oleh sebab itu, sosialisasi HAKI di
kalangan seniman menjadi amat penting artinya dan membutuhkan kita tersendiri
mengingat seniman merupakan "masyarakat" yang meamiliki ciri-ciri
kepribadian yang unik.
Yang terakhir
adalah kendala dari komponen masyarakat. Atas nama fiksi hukum dalam konteks
hukum positif di Indonesia, masyarakat dianggap tahu tentang adanya
Undang-Undang Hak Cipta. Jika seorang warga melakukan pelanggaran terhadap UU
Hak Cipta, mereka akan kena sanksi hukum meskipun menyatakan bahwa tidak tahu
perbuatannya dilarang oleh UU Hak Cipta. Masalahnya banyak seniman tidak peduli
apakah karyanya diberi royalti atau tidak, dicuri atau dibajak sekalipun.
Apalagi, saat ini fakta di lapangan para penegak hukum belum melakukan
penegakan hukum secara tegas bagi pelaku pelanggaran HAKI. Oleh karena itu,
yang terjadi adalah orang-orang yang menguasai dunia industri kesenian
(misalnya, industri rekaman dalam arti luas) di Indonesia mendapat kesempatan empuk
untuk mengeruk keuntungan dari ketidakpedulian seniman dan ketidaktahuan
masyarakat serta kelemahan penegakan hukum.
Yang layak
dikemukakan bahwa mengenai Hak Cipta
yang sedang banyak dibicarakan sebenarnya memiliki kesempatan untuk disosialisasikan
oleh pemerintah pada masyarakat. Ini berarti pemerintah memiliki waktu untuk menyebarluaskan
Undang-Undang Hak Cipta itu pada masyarakat Indonesia. Dalam pengamatan
selintas upaya sosialiasi tersebut tampaknya belum maksimal dalam masyarakat
karena di lapangan banyak kalangan masyarakat yang tampaknya kurang siap untuk
melaksanakan amanat undang-undang ini. Meskipun "fiksi hukum" berlaku
terhadap semua produk perundang-undangan sebagai perwujudan dari hukum positif
kita, seperti apa yang penulis ungkapkan di atas. Bahkan, khusus bagi
Undang-Undang Hak Cipta yang amat penting keberadaannya bagi masyarakat karena
mencakup begitu banyak kepentingan, selayaknya upaya sosialisasinya dilakukan
lebih serius sehingga dalam penerapannya menjadi efektif. Kekurangmatangannya
proses sosialisasi undang-undang ini terbukti dari kenyataan begitu banyaknya
pelanggaran yang masih berlangsung dalam masyarakat menjelang maupun sesudah
undang-undang ini diberlakukan.
Upaya penegakan hukum gencar
melakukan sweeping / razia dengan armada Satuan Polisi Pamong Praja saat
undang-undang ini mulai diberlakukan bakal "anget anget tahi ayam"
saja karena tekanan perusahan multiinternasional yang merasa sangat dirugikan
oleh masyarakat Indonesia yang selama ini membajak produk mereka.
Seharusnya selama masa sosialisasi sweeping
pun harus dilakukan ke berbagai lingkungan masyarakat bukan hanya ke toko-toko
VCD tetapi juga ke produser, instansi pemerintah, serta para penegak hukum itu
sendiri. Hendaknya sweeping dilakukan seiring dengan penyuluhan isi
Undang-Undang Hak Cipta tersebut sebagai bagian dari proses penegakan hukum
sehingga masyarakat tidak hanya takut pada hukum tetapi sadar dan patuh pada
hukum. Kita berharap saja Undang-Undang Hak Cipta ini dapat memberikan
perlindungan hukum pada masyarakat kreator khususnya masyarakat seniman
meskipun tidak sepenuhnya, tetapi cukuplah guna membantu keberadaan seniman dan
musisi yang bertalenta. Ada sinisme dalam kalangan masyarakat tertentu bahwa
sebuah undang-undang lahir untuk dilanggar bukan untuk dipatuhi terkadang
membuat kita pun miris.
Saran saya;
·
Jika tidak ingin disebut pelaku
plagiat tulen / penjahat terselubung yang merompak hasil kreatifitas orang
lain, maka cukup jadilah seperti Negara Cina, artinya ; apabila belum menemukan
“brillian ideas” / “original inventions” , maka cukup amati, tiru, dan
modifikasi dulu dari apa yang sudah di invensi, sehingga muncul valuenya.
·
Pemerintah disini diharapkan
senantiasa full supports pada hasil invensi anak negeri dengan memberikan
jaminan, pengakuan, kemudahan/fasilitas penunjang bukan malah apatis, under
estimate, tidak berpihak pada invensi yang telah dihasilkan, semisal pada
invensi televisi baru-baru ini. Sedangkan apabila inventor itu ujung-ujungnya
di rebut / menjual hasil ide kreatifitasnya pada Negara lain , Indonesia biasanya
akan buru-buru kebakaran jenggot, (sakit hatilah). Padahal memang salah sendiri
akibat kurang perduli akan temuan tersebut.
·
Pemerintah senantiasa mentrigger
iklim kompetisi dalam hal invensi anak bangsa, sehingga bisa lebih maju kedepannya,
dan memudahkan inventor muda mendapatkan sumber – sumber yang telah Indonesia
punya untuk dijadikan sesuatu yang fresh, untuk menemukan jati dirinya kembali.
Semisal ; tidak jarang anak-anak hari ini harus ke pasar loak untuk mendukung
komponen dari hasil invensinya, dimana fasilitas dan sumber data yang ada misal
di perpustakaan dari Negara masih dirasa kurang, sehingga mengembalikan cinta
akan Indonesia,
·
Diharapkan hasil invensi yang
dihasilkan memiliki benefit yang berprogress jadi tidak mudah tergerus
perubahan, maka dibutuhkan keotentikan dan karya yang long lasting sifatnya.
·
Para inventor harus lebih “melek/peka”
dalam memproteksi ciptaannya, dan jika telah mendapat hasil yang memuaskan
inventor harus bisa memantainance klien, customernya / fan base jika pada
musisi dengan hubungan yang baik. Semisal ; musisi lokal kadang kurang hangat di
sosial media dalam menanggapi fansnya, itu terjadi pada saya sendiri. Musisi
luar sangat peka dan gencar dalam promosi merebut hati fans, ini kurang ada di
kita.
· Akhir kata, “man jadda wa jadda”, ‘kurang
lebihnya sebagai manusia haruslah kita bersungguh-sungguh maka kita akan
berhasil, meskipun terlambat, asal mau belajar dan melakukan yang terbaik, who
knows Indonesia kelak bisa memiliki banyak inventor. Sepanjang itu ide kreatif
dan kita tidak menipu konsumen, atau cuma style kebarat-baratan / tuntutan
kekini-kinian yang berkembang liar saat ini, menurut Kamus Besar Hari Gini (KBHG)
“ itu mah ga papa keles..” dibanding dengan mengikuti budaya korupsi, narkoba,
aliran sesat, atau bahkan fenomena poligami dan LGBT.. Jadi memang diri kita
sendiri harus bermilitan kalau ingin tetap loyal sebagai orang Indonesia,
realnya cinta Bondowoso dulu lah sebagai langkah nyata, membiasakan diri lebih memilih barang lokal yang berkualitas, daripada yang tiruan ber KW. JUST Decide, Commit, Succeed. May Allah Blessed Us.
Wine Heranika 13
00 1891
Sumber : Pikiran Rakyat
(21 Agustus 2003)
fisik@net - http://www.sains.org/haki/